Share This

Minggu, 04 Maret 2012

Raung, Eksotisme Gunung di Ujung Jawa Timur

Jumat, 15 Juli 2011


Akhirnya, saat yang dinanti selama ini datang juga. Pukul 05.10 tanggal 15 Juli 2011 tim pengembaraan gunung hutan Tapak Jagat – Lintang Jagat UPL MPA UNSOED berangkat menuju stasiun Purwokerto dengan diantar oleh beberapa AB UPL MPA dan saudara-saudara kami dari tim Rock Climbing. Kami berangkat menuju Jember Jawa Timur dengan menggunakan kereta api ekonomi Logawa. Tapi kursi-kursi masih kosong sehingga kami dapat memilih tempat duduk.
Semakin siang hawa dalam kereta semakin panas, ditambah teriakan-teriakan pedagang asongan yang menawarkan dagangannya selayaknya biasa dijumpai dalam kereta kelas ekonomi. Tetapi koordinator kami, Mr.Sigit Puji Jatmiko tetap terlelap tanpa terganggu oleh suasana, sehingga menjadi objek keisengan kami.
Kami pun bertemu dengan sekelompok pendaki yang akan berangkat ke Gunung Semeru dan akan transit di Universitas Negeri Jember pula. Akhirnya pada pukul 21.12 kami tiba di stasiun Jember. Tetapi ada kejadian yang cukup menggelikan. Setelah cukup lama kami duduk di bangku tak jauh dari Logawa berhenti, kami baru sadar kantong kresek yang berisi oleh-oleh untuk Mahapena Unej tertinggal di kolong kursi. Kami cari lagi, tetapi barang itu sudah tidak ada. Agak menyesal juga, kalau begini jadinya mending tadi makanannya dimakan saat di perjalanan.
Pukul 21.40 jemputan dari Mahapena datang. Dengan menggunakan sepeda motor kami berangkat menuju sekretariat Mahapena. Di sekretariat orang-orang masih ramai. Setelah membereskan peralatan, kami mengobrol dengan mereka sampai larut malam. Menanyakan informasi gunung-gunung yang akan kami daki dan mencari peta Gunung Arjuno-Welirang sheet Lawang. Alhamdulillah kami memperoleh soft copy-nya.
Tengah malam kami mulai melakukan evaluasi dan koordinasi di kamar loteng yang terletak tepat di bawah genting. Aksesnya pun unik dengan menggunakan tangga kecil di atas meja televisi dengan bantuan seutas tali dadung.
Sabtu, 16 Juli 2011
Pukul 05.30 tim memulai aktivitas. Setelah sarapan pagi gratis yang nikmat, Sigit dan Hata print peta dan mengirimkan soft copy peta lewat e-mail ke setiyawan. Sedangkan Yeni berbelanja logistik ke Pasar Tanjung Jember bersama Mbak Tami salah seorang anggota Mahapena angkatan 2007.
Pukul 12.45 kami berangkat menuju terminal bus Arjasa dengan diantar anak-anak Mahapena. Tetapi motor yang membonceng Hata ada kendala sehingga kami harus menunggu cukup lama di terminal. Dengan menggunakan bus jurusan Jember – Situbondo kami berangkat menuju Gardu Atak. Dari Gardu Atak menggunakan angkudes menuju Pesanggrahan di Sumber Wringin.
Pondok pendaki di Sumber Wringin, atau dikenal dengan nama Kamar Bola dan Pesanggrahan oleh penduduk sekitar cukup nyaman. Fasilitas bangunan berarsitektur Belanda itu pun terbilang mewah dengan  2 kamar mandi yang besar dan kamar yang disewakan Rp 150.000,00/malam. Tetapi kami menggunakan bangunan di sebelah barat yang hanya dikenakan uang kebersihan sebagai pengganti uang sewa. Fasilitasnya pun alakadarnya, dua buah ranjang yang sudah lusuh, sebuah sofa panjang, dan lantainya kotor. Tapi ruangannya yang besar cukup leluasa digunakan kami untuk packingbarang.
Aktivitas camp kami kali ini terbilang lama, sehingga pada pukul 22.00 baru melaksanakan evaluasi dan koordinasi. Pukul 23.50 kami beristirahat, menyiapkan energi besar untuk pendakian pertama ke Gunung Raung dalam operasional pengembaraan ini.
Minggu, 17 Juli 2011
Alhamdulillah, kami bisa berangkat pagi pada pukul 06.15. Dari Pesanggrahan kami harus berjalan kaki menuju Pondok Motor karena tidak ada truk atau colt pengangkut hasil panen yang lewat. Menurut petunjuk jalur pendakian Gunung raung yang diberikan Bu Endang, pengelola Pesanggrahan, jarak yang ditempuh ke Pondok Motor sejauh 7 km berupa jalan raya yang disambung dengan jalan makadam. Cukup menguras tenaga untuk operasional gunung pendakian pertama.
Sepanjang 7 km itu kami melewati perkebunan tebu yang luas, disambung dengan perkebunan pinus, dan kopi. Ternyata tanah lereng Gunung Raung yang miskin air itu bagus untuk pertanian labu siam. Kebetulan saat itu petani labu  siam sedang panen. Harga perbuahnya lumayan, Rp 500 – Rp 1000/buah.
Salah satu fenomena budaya unik yang kami jumpai di sana adalah dari segi bahasa yang mereka gunakan. Penduduk lereng Gunung Raung mayoritas suku Madura. Tetapi menurut informasi, bahasa yang mereka gunakan berbeda dengan bahasa Madura asli meski dialeknya sama. Cukup menjadi hiburan bagi kami karena baru kali ini mendengar secara langsung penutur asli bahasa Madura, apalagi Mas Doso pendamping kami pandai meniru dialek mereka. Geli,Pak!
Setelah memasuki jalan setapak di sekitar perkebunan kopi kami kebingungan karena banyaknya percabangan jalur sehingga kami pun tersesat cukup jauh dengan mengambil jalan ke arah kiri yang menuju ke Gunung Suket. Setelah melakukan orientasi medan dan bertemu dengan penduduk, kami pun kembali ke arah yang benar.
Menurut informasi dari penduduk yang bertemu dengan kami, Pondok Motor sudah tidak ada gubuknya sepeninggal Mbah Serani (Penjaga Pondok Motor) dan tidak ada sumber air. Padahal menurut referensi ada air di Pondok Motor. Kemudian terpaksa kami minta pertolongan kepada Penduduk untuk mengambilkan air di Desa dengan imbalan Rp 20.000,00.
Di sepanjang jalur yang kami tempuh banyak terdapat dataran yang cukup luas yang kami sangka sebagai pos. Kami rasa telah hari pertama telah mencapai beberapa pos, tetapi kami keliru.
Pukul 16.00 membuat outdoor camp pertama kami di koordinat ( 08° 03’58” LS. 114° 02’26” BT ). Kami pun dapat melakukan evaluasi dan koordinasi tepat waktu yaitu pukul 19.00 WIB.
Senin, 18 Juli 2011
Wah, operasional kali ini molor dari waktu yang telah dikoordinasikan. Kami mulai berjalan pada pukul 07.45. Pondok Sumur yang kami cari-cari dari kemarin ternyata hanya ditempuh selama 5 menit dari tempat camp. Di pos ini terdapat botol air mineral bekas sebagai tempat penampungan air, tetapi isinya hanya sedikit.
Perjalanan hari ini terasa sangat panjang dengan target Bibir Kawah Gunung Raung dan kembali lagi ke tempat camp. Apalagi anggota tim yang perempuan terkena mountain sickness sehingga pergerakan kami diperlambat.
Pemandangan yang terhampar di sepanjang perjalanan sangat indah. Pohon-pohon cemara menjulang di antara kabut-kabut tipis yang melayang perlahan. Bunga-bunga teklan, primula polifera yang kuning manis, edelweiss putih, dan buah-buah arbei hutan yang merah segar seakan berlomba memamerkan kecantikannya pada kami. Rerumput dan semak yang bergoyang tertiup angin seolah tengah menari, dan burung-burung bercericit mengucap selamat datang dengan ramah pada kami.
Di Pondok Angin kami melakukan ishoma dengan menu kacang ijo, susu, dan agar-agar. Pondok Angin tidak seindah pemandangan di tempat lain. Keadaannya gersang dan terdapat bekas kebakaran yang baru. Di Memorial Deden Hidayat atau Plawangan Gunung Raung kami bertemu dengan beberapa orang penduduk yang baru turun dari puncak Raung. Perjalanan menuju bibir kawah memakan waktu 1 jam. Jalurnya berbatu-batu padat dan berbahaya. Di kiri kanan terdapat jurang-jurang yang dalam, sementara kami berjalan di atas punggungan selebar 30 cm. Untung saat itu tidak ada angin kencang.
 Menjelang bibir kawah jalur terjal dan berbatu rapuh. Akhirnya kami pun tiba di puncak pertama dalam operasional pengembaraan. Spanduk pengembaraan yang panjang, panji UPL MPA, dan bendera merah putih pun berkibar.
Di bibir kawah kami hanya menghabiskan waktu 30 menit karena hari sudah mulai sore, cuaca berkabut, berangin cukup kencang, dan dua orang anggota tim yaitu Fajar dan Yeni muntah-muntah di puncak. Kami terpaksa melakukan perjalanan malam menuju tempatcamp karena kami menyimpan cadangan air di sana. Pukul 18.52 barulah kami tiba di tempat camp dan langsung bergerak cepat melakukan aktivitas camp.
Selasa, 19 Juli 2011
Pagi ini Sigit pergi ke Pondok Sumur untuk mengambil air di penampungan karena persediaan kami hampir habis karena semalam kurang kontrol penggunaan air. Tetapi hanya mendapat satu vedples kecil air. Akhirnya pengontrolan penggunaan air diambil alih pendamping.
Pergerakan turun kami pun dipercepat karena cuaca semakin panas. Untuk menambah asupan air yang kurang kami melakukan survival dengan makan umbi paku-pakuan yang diambil pendamping dari sekitar tempat camp. Rasanya agak pahit dan kelat, tetapi cukup menyegarkan karena kandungan airnya banyak. Tetapi rasa pahitnya tertolong oleh agar-agar rasa melon yang potong kecil-kecil.


 Di perjalanan kami bertemu dengan para pencari obat-obatan dan penduduk yang lalu-lalang dengan sepeda motor di jalur pendakian. Kami tiba di Pondok Motor pukul 09.50 dan bertemu dengan colt pengangkut labu siam. Di pertigaan jalan makadam kami melakukan coffee break. Cadangan air terakhir kami disulap menjadi minuman segar campuran susu dengan agar-agar.
Perjalanan ke Pesanggrahan sama nasibnya dengan perjalanan hari pertama pendakian kami, tidak mendapatkan tumpangan. Kami pun berjalan lagi sejauh 7 km tetapi waktu tempuhnya lebih cepat. Cuaca saat itu sangat panas dan jalan berdebu. Pukul 11.15 kami tiba di rumah pertama Dusun Legand untuk mengambil air. Beberapa teguk air mentah yang diperoleh dari sumber air salah satu rumah penduduk melegakan tenggorokan kering kami.
Cuaca terasa sangat panas di sepanjang jalan raya menuju Pesanggrahan. Tanah yang gersang, perkebunan tebu yang luas, anak-anak SD yang berlarian dengan layang-layang di tangan mereka, bangunan SD yang kumuh dan kering, menjadi serangkaian cerita di benak kami. Bapak-bapak yang ramah memberi kami beberapa batang tebu, cukup mengobati rasa haus yang selalu saja terasa. Akhirnya, pukul 12.15 kami tiba di Pesanggarahan. Di sana kami melakukan recovery, bersih-bersih, dan jalan-jalan di sekitar Pesanggrahan.
Nantikan Petualangan Selanjutnya..Selamat membaca dan Menjejak!!! Bersambung……………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar